Selasa, 26 April 2011

"MERPATI BALAP"


Pernahkah Anda melihat kendaraan melaju ugal-ugal di jalanan? Bus antarkota, misalnya, bus yang biasa melayani angkutan antarkota.  Jurusan Solo -  Yogja, Solo – Semarang, Yogja - Semarang  dst. 


Belum lagi terhitung sejumlah bus berukuran lebih kecil atau orang biasa menyebutnya bus ¾. Nah, mereka (bus-bus) ini seringkali terlihat melaju di jalan raya persis layaknya “raja jalanan” dan kerapkali terjadi  saling salip di antara mereka.

Dalam hati dan benak kru (kondektur dan kernet) terlebih lagi si pengemudi, hanya ada satu dalil : “Jalanan ini hanya milik kita!”, sementara pemakai jalan yang lain hanya sekedar numpang lewat saja”. 

Itu artinya, bahwa untuk mengejar dan menutup uang setoran – mereka harus bisa dan berani “menguasai” jalanan.   

So, kalau “motto” itu sudah ada di "ubun-ubun" mereka,  jangan tanyakan lagi soal keselamatan penumpang. Buat mereka,  itu tidaklah penting. Apalagi Soal kenyamanan! Wah, kacau!. 


Sudah gitu, masih ditambah lagi ulah sang konduktur yang kerapkali mempermainkan penumpang dengan menarik ongkos lebih dari biasanya. 


Kalau saja tarip normal sekali jalan misalnya Rp.4000, maka saat disodori Rp.5000-an, ia terima dan diam saja pura-pura pas. Saat diminta kembaliannya, dibilangnya sudah pas taripnya. 

Okey, soal tarip atau tiket atau apalah namanya gak begitu penting. Masih lebih penting soal keselamatan dan kenyamanan publik (penumpang). 

So, sampai ada lho, Ibu-ibu yang ketakutan naik bus-bus “balap” itu, dan kemudian minta diturunkan di jalan.hem…

”Jinak jinak merpati” ini kesan pribadi lho. Tapi, apa hubungannya? Yang jelas, ada kesamaan yakni: sama-sama bisa dipakai "mbalap" he..he..

Kalau kita perhatikan, ketika bus A sebut saja begitu, melaju dengan bawa hanya sedikit penumpang, ia berjalan perlahan-lahan, terkesan ogah-ogahan, sebentar-sebentar berhenti di perempatan strategis dan si pengemudi pun tengak-tengok  kanan kiri, dan belakang..

Kalau ada orang berjalan tampak dari pertigaan atau perempatan, ditunggui, ditanyai baik-baik dan ditawari dengan santun nan menggoda : “ mau ke mana, pak, bu, mbak!” begitu sopan dan ramahnya ia menyambut dan menjemput penumpang. 

Beberapa km berjalan, kemudian berhenti (ngetem) di per-empatan strategis untuk mencari  penumpang lain.  Tapi beberapa penumpang yang sedari tadi ada dalamnya, tentu merasa bête dengan situasi itu. 


Gambaran itu persis jinaknya merpati. Tapi, "jinaknya" bus ini akan berubah drastis manakala di belakangnya tampak bus B yang melaju mendekatinya. 

Spontan semuanya menjadi berubah. Bus A yang tadinya "jinak" langsung berubah "liar" ambil langkah 1000 tancap gas. Klakson ditekan dan dibunyikan sesering mungkin. Lampu merah pun lebih sering dilanggarnya. 

Kalau sudah begitu, bukan saja penumpang jadi terancam keselamatannya tapi juga pemakai jalan pada umumnya. Di saat-saat  seperti itulah, sopir adalah "raja". Ia bisa “memperlakukan” para penumpang dengan semaunya. 

Mau jalankan bus-nya lebih pelan lagi seperti jalannya keong, gak ada yang berani (negur). mau ngetem lebih lama lagi, jangankan hanya dua atau tiga jam,  sampai seharian penuh pun siapa berani melarang? 
 
Sebaliknya, ketika “musuh” (bus B) mulai muncul di belakangnya, ia tancap gas melaju kencang tanpa peduli lagi akan keselamatan penumpangnya. 

Ironisnya, potret bus "balap" tersebut, masih ada di jalanan.


Memang sering kita dengar, ada merpati balap - yang biasa dipakai lomba adu cepat itu lho!  Lha iya, itu kan lomba (balap burung) bung!.Emangnya, kita mau naik "Merpati Balap?", hem .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar